Cerita baru dalam hidup yang
membuatku mati kutu. Apakah waktu yang ku jelajahi benar-benar mati ataukah
hanya sebuah sandaran baru dari imajinasiku tentang apa yang ku alami.
“Dek, ada tellpon!”. Sahut bunda
memecahkan keheninganku di malam senyap. Tanpa pikir panjang, kaki ku ayunkan
menuju lantai bawah, ruang keluarga yang mengisyaratkan sejuta warna untukku
dan semua.
“Siapa, bunda?”. Sapaku rapat
sebelum gagang telepon itu pindah ke tanganku.
“Cahaya”.
Aku mengernyit mendengar jawaban
bunda. Sangat tabu bagiku tentang nama cahaya. Tapi tak ku pertanyakan pada
beliau karena gak ada gunanya juga.
“Hallo!”. Sapa diseberang diiringi
dengan jidatku yang mengernyit pula.
“Ya”. Jawabku singkat.
“Gi ngapain Chen?”. Timpalnya lagi
tanpa memberitahuku siapa dia.
“Bikin website”. Lagi-lagi jawaban
singkat ku aturkan.
“Website? Waw! Ajarin aku dong!”.
Rengeknya lagi serasa pernah dekat aja.
“Masalah gampang itu!”. Sentak ku
pula.”Tapi, kamu…”. Tambahku lagi menggantung kalimat.
“Cahaya, Chen. Masak lupa!”. Balasnya
pula meyakinkan kalau aku dan dia memang pernah kenal. Sejenak ku terdiam.
Cahaya? Ouff! Aku tak bisa memutar
memoryku. Seolah otak tak punya data tentang nama Cahaya. Dan aku pun tak bisa
memaksa rentetan sel syaraf untuk kian menunjukkan title cahaya itu.
“Chen?”. Saapanya lagi dalam
heningku.
“Aku”. Jawabku singkat dengan suara
yang mulai serak.
“Aku tau”. Balasnya pula dan
kemudian hening. Entah berapa lama, aku tak tau.
“Aku Cahaya Luna, teman kursus
kamu!”. Sentaknya lagi, aku masih bingung karena kursus itu sendiri sampai
sekarang tak pernah ku ikuti.
“Aku lupa”. Jawabku singkat dalam
sendu.
“Gak apa-apa”. Jawabnya lagi.
Aku terdiam. Iba.
“Kamu bukannya ingin melupakan aku
dan teman-teman disini, tapi memang kondisilah yang membuat kamu lupa. Tapi
kami gak akan pernah lupa sama kamu. Kamu yang memiliki senyum yang lebih
sumringah dari mentari!”. Pujinya yang serasa memahat disudut hatiku.
“Besok aku dan anak-anak yang lain
kesana, ya? Gi gak kuliah, kan?”. Celetuknya lagi tanpa mempertanyakan boleh
atau tidaknya ia ketempatku.
“Gak, besok free”. Jawabku lagi
singkat.
“Ya udah, kamu istirahat aj!”.
Tukasnya lagi. Aku tetap diam, hingga salah ia utarakan dan percakapan pun
terhenti. Lama ku letakkan gagang telepon, karena otak yang ku upayakan untuk
mengingat seperti apa rupa Cahaya.
“Siapapun dia, jangan terlalu di
pikirkan. Dia adalah salah satu dari sejuta teman yang kamu punya. Wajar kalau
kamu lupa, nak. Karena saking banyaknya teman yang kamu punya”. Tukas ibu
memecahkan lamunanku.
“Tapi, bu”.
“Istirahatlah lagi, udah jam
Sembilan”. Sambung ibu lagi seraya berlalu dariku.
Layaknya yang ibu pikirkan, aku pun
berlalu dan berupaya untuk meninggalkan segala sesuatu tentang Cahaya tadi.
Beranjak perlahan ku keruangan
sempit tempatku berdedikasi tentang hobi dan manjakan otakku dengan cerita yang
dijabarkan imajinasiku. Menit berlalu mengitari detik, perlahan menyempit dan
kelam pun menemani suram. Aku terdiam, diam dalam hanyut yang menyentirkan
harap
“Akbar, jagakan aku di sepertiga
malammu”. Bisikku pada pencipta dengan bahasa dan harapku pula. Dengan di tatih
kelelahan, aku pun mulai memejamkan mata. Tertidurlah aku dengan rona di bunga
tidur yang tak kupahami pula. Aku tidur dengan damai yang hamper memadamkan
penatku.
Lama juga ku bersemayam dalam mimpi
yang tiada makna, hanya saja ia menutupi rentang waktu yang tercipta dan hilang
dalam penatku dalam nuansa yang penuh tak beraura. Hingga siang menjelma dengan
rautannya pula.
Ku terhenyak dalam nafas yang tak
berirama.
“Tuhan, sepertiga malamku ?”. Desahku
dengan jantung yang berirama, tak tau siapa yang akan menjawabnya.
Ada rasa takut yang mulai mengitari
lingkaran sukmaku ketika ku paham shubuh ku berlalu dan tahajudku tak mau
menyinggahi. Ku periksa rautan jasadku.
“Huff, aku lupa wudhu sebelum
tidur”. Parauku di sertai kantuk yang tak kunjung beranjak.
“Chen”. Sapa ibu yang tiba-tiba
berada di pintu kamarku.
“Ibu”. Balasku pula dengan raut iba,
seakan ibu paham apa yang tertera dibenakku. Beliau pun merangkulku.
“Ketiduran, masih bisa kok. Dhuha
juga masih ada”. Balas ibu. Ibu benar, dengan ditemani rasa kantuk yang
tersisa, aku pun beranjak meninggalkan ibu dan beralih kekamar mandi.
Usai shubuh, ku lanjutkan curhatku
pada semesta dengan menggaduh waktu dhuha dengan semraut yang tersisa. Aku
ingin alam dan pencipta mendengarkan rasa yang berkoar. Dan aku ingin
hari-hariku dimulai dengan pagi ini secerah mentari.
Usai shalat ku tunaikan, bunda
mendekatiku dengan wajah penuh harap. Ada raut prihatin melihat ku tapi ku
berpura untuk tidak tau.
“Ada kuliah hari ini, dek?”.
Tanya bunda lekat.
Aku menggeleng.
“Trus, rencananya kemana?”.
“Kemakam papa”. Jawabku singkat
membuat ibu terdiam.
“Sama siapa?”.
“Robbi”.
“Habis itu langsung pulang, ya”.
“Ya, nda”. Balas ku pula dengan
nada rendah, karena planning dalam otakku adalah berjalan mengitari kota
kelahiran bunda hingga lelah tersua dan kembali menuai sakit, bersama Robbi.
“Robbi mangnya gak kuliah, Dek?”.
Tanya bunda lekat.
Aku menggeleng.
“Kamu satu kampus sama dia,
kan?”.
Aku mengangguk.
“Satu kelas”.
Aku menggeleng.
“Ada masalah kamu, nak?”. Ucap
bunda lagi merasa heran melihat tingkahku. Aku diam sejenak, dalam tunduk aku
berujar.
“Bunda”.
Bunda mendekat dan merangkulku.
“Setiap masalah, pasti ada jalan
keluarnya sayang”. Jawab bunda menenangkan,”Cerita lah”. Bujuk bunda.
“Bunda, uang kuliah Chen, satu
minggu lagi, dapat uang dari mana kita ?”. sahutku dengan suara iba. Bunda diam
sejenak.
“Sabar, sayang. Rezky untuk kuliah
itu Insya Allah ada, nak. Berdoa lah”. Bujuk bunda lagi. Aku kembali hening.
Hingga yang terdengar pagi itu hanya suara berisik cicak yang entah hendak
mengutarakan apa.
“Bunda”. Panggil ku lagi seraya
menatap lepas di balik jendela.
“Kalo, Chen BSS dulu, gimana
bunda?”. Pintaku, bunda kaget.
“Gak usah”. Tangkas bunda lekas
“Chen kerja dulu, tar kuliahnya dilanjutin lagi”.
“Bunda masih bisa cari uang untuk
kamu!”. Bentak bunda sedikit bengis
Tuhan,
bukan ku tak menghargai jerih bunda, tapi ku iba pada sosok yang telah rapuh
mencari nafkah, menguliahkan aku dan melakukan pengobatan untukku. Dan aku juga
takut, jikalau nanti harapan dan cita bunda untukku menggapai gemilang adalah
tabu, tentu segudang kecewa akan menghampirinya. Aku tak mau itu. Aku sayang
bunda!
Bunda berlalu menuju warung mini
cipataannya dan meninggalkan usapan
hangat di kepalaku.
“Aku sayang bunda”.
Desahku,”Papa, aku rapuh, pa”. Raungku di balik tangis yang ku paksa untuk
tidak tumpah.
Kemudian ku beranjak menatap rona
di celah kaca. Berupaya untuk tetap menampakkan senyum dalam raut aku pula.
Hingga handphone yang entah keluaran tahun berapa yang tepat berada di meja
belajarku, berbunyi.
“Robbi”. Gumamku menatap nomor
pemanggil yang tertera di hp ku. Ku angkat.
“Aku di luar”.
“Masuk aja”.
“Malu sama bunda”.
“Santai aja”. Balasku meyakinkan.
Baru lah ia masuk.
Bunda tak ada komentar karena
pandangan pertama ketemu sama Robbi sangat
baik. Robbi dengan santun bersalaman sama bunda. Lama juga ku keluar.
Hingga bunda bercengkrama dengan Robbi seraya mengambilkan permintaan
pelanggannya.
“Sorry, gw telat”. Timpalku membuncahkan
keasyikan obrolan bunda dan Robby.
“Loe mang slalu telat”. Timpalnya pula. Aku diam, tidak
dengan senyum yang ku punya.
“Chen keluar ya, bunda”. Balasku
pada bunda. Bunda mengangguk seraya meyodorkan tangan untuk ku ciumi.
“Jam setengah duaan pulang ya,
nak. Obatmu”. Balas bunda lagi, aku mengangguk. Roby juga pamitan dan kami pun
berlalu. Hanya hening yang menemani dalam perjalanan.
Sesekali meredam keheningan, Robi
bertanya tapi ku jawab apa adanya. Hingga Roby memilih diam dan tak bersuara.
Tempat yang kami tuju sama seperti biasanya. Gallery lukis punya sepupu Robbi.
Ku habiskan hari-hariku dengan melukis objek mati yang serasa menari dimataku.
Sesekali Robbi mengalihkan muka
ke aku, tapi ku upayakan untuk tak melihatnya. Merasa tak di pedulikan, ia
kembali diam.
Hanya cahaya yang mampu
menukaskan jemariku dan menghantam rentetan imajinasiku akan objek yang
mengganjal. Hanya waktu yang mampu menepiskan piluku saat meraut ribuan warna
di atas kanvas, hanya detik dan haluannya yang memadamkan semangatku dalam
mencari lembar uang yang membuatku tegak dengan satu kaki yang terkadang angin
membawaku untuk berarak kemana arahnya namun ku upayakan kekokohan menemaniku.
Hufffftt….
Waktu berjalan dengan lambat
hingga merapat dan akhirnya waktu tunggu yang benar-benar ku nantikan datang
juga. Aku sedikit terperangah memandang lama haluan yang ku sendiri tak paham.
Dan ku tetap berdiam menyaksikan kelugasan waktu menari di pelipisku. Dalam
ketidak pahaman mataku menatap yang di depan aku pun berujar setengah berbisik.
“Gambar apa ini?”. Gumamku
bingung diantara lukisanku. Ku hela nafas berat dan kemudian ku biarkan waktu
menemaniku mencari tema sebuah goresan di atas kanvas. Hingga akhirnya ku
bertemu dengan sebuah kata judul. Judul yang ku sendiri tak tau itu apa.
Agak menggeliat sel syarafku menyaksikannya.
“Chen!”. Sapaan seseorang persis
membuyarkan lenaku. Terjagaku dan menatap lama arah suara.
“Kenapa!”. Balasku ketus, ia
mengernyitkan jidat, aku bingung dan kemudian tanpa piker panjang pun berlalu
darinya.”Aku bosan”. Sambungku lagi datar, ia mengangguk paham.
“Lukisan kemaren uda terjual,
Chen!”. Sahutnya pula.
“Berapa?”.
“350”.
“Alhamdulillah!”. Sahutku pula
dengan raut senang. Kenapa tidak, uang kuliah sebentar lagi, meminta pada ibu,
ibu dapat uang dari mana? Minjam? Bayar pake apa?
“Kenapa kamu?”.
“Gak apa-apa”. Jawabku pula,
bukan sombong atau pun gak ingin terjun pada ucapannya, hanya saja aku hanya
ingin tak seorang pun mengetahui luka yang ada padaku saat ini dan seterusnya.
“Aku pulang”. Sahutku lagi.
Bersambung
No comments:
Post a Comment