Saturday, October 20, 2012

Sepertiga Malam Terakhir


Cerita baru dalam hidup yang membuatku mati kutu. Apakah waktu yang ku jelajahi benar-benar mati ataukah hanya sebuah sandaran baru dari imajinasiku tentang apa yang ku alami.
            “Dek, ada tellpon!”. Sahut bunda memecahkan keheninganku di malam senyap. Tanpa pikir panjang, kaki ku ayunkan menuju lantai bawah, ruang keluarga yang mengisyaratkan sejuta warna untukku dan semua.
            “Siapa, bunda?”. Sapaku rapat sebelum gagang telepon itu pindah ke tanganku.
            “Cahaya”.

            Aku mengernyit mendengar jawaban bunda. Sangat tabu bagiku tentang nama cahaya. Tapi tak ku pertanyakan pada beliau karena gak ada gunanya juga.
            “Hallo!”. Sapa diseberang diiringi dengan jidatku yang mengernyit pula.
            “Ya”. Jawabku singkat.
            “Gi ngapain Chen?”. Timpalnya lagi tanpa memberitahuku siapa dia.
            “Bikin website”. Lagi-lagi jawaban singkat ku aturkan.
            “Website? Waw! Ajarin aku dong!”. Rengeknya lagi serasa pernah dekat aja.
            “Masalah gampang itu!”. Sentak ku pula.”Tapi, kamu…”. Tambahku lagi menggantung kalimat.
            “Cahaya, Chen. Masak lupa!”. Balasnya pula meyakinkan kalau aku dan dia memang pernah kenal. Sejenak ku terdiam.
            Cahaya? Ouff! Aku tak bisa memutar memoryku. Seolah otak tak punya data tentang nama Cahaya. Dan aku pun tak bisa memaksa rentetan sel syaraf untuk kian menunjukkan title cahaya itu.
            “Chen?”. Saapanya lagi dalam heningku.
            “Aku”. Jawabku singkat dengan suara yang mulai serak.
            “Aku tau”. Balasnya pula dan kemudian hening. Entah berapa lama, aku tak tau.
            “Aku Cahaya Luna, teman kursus kamu!”. Sentaknya lagi, aku masih bingung karena kursus itu sendiri sampai sekarang tak pernah ku ikuti.
            “Aku lupa”. Jawabku singkat dalam sendu.
            “Gak apa-apa”. Jawabnya lagi.
            Aku terdiam. Iba.
            “Kamu bukannya ingin melupakan aku dan teman-teman disini, tapi memang kondisilah yang membuat kamu lupa. Tapi kami gak akan pernah lupa sama kamu. Kamu yang memiliki senyum yang lebih sumringah dari mentari!”. Pujinya yang serasa memahat disudut hatiku.
            “Besok aku dan anak-anak yang lain kesana, ya? Gi gak kuliah, kan?”. Celetuknya lagi tanpa mempertanyakan boleh atau tidaknya ia ketempatku.
            “Gak, besok free”. Jawabku lagi singkat.
            “Ya udah, kamu istirahat aj!”. Tukasnya lagi. Aku tetap diam, hingga salah ia utarakan dan percakapan pun terhenti. Lama ku letakkan gagang telepon, karena otak yang ku upayakan untuk mengingat seperti apa rupa Cahaya.
            “Siapapun dia, jangan terlalu di pikirkan. Dia adalah salah satu dari sejuta teman yang kamu punya. Wajar kalau kamu lupa, nak. Karena saking banyaknya teman yang kamu punya”. Tukas ibu memecahkan lamunanku.
            “Tapi, bu”.
            “Istirahatlah lagi, udah jam Sembilan”. Sambung ibu lagi seraya berlalu dariku.
            Layaknya yang ibu pikirkan, aku pun berlalu dan berupaya untuk meninggalkan segala sesuatu tentang Cahaya tadi.
            Beranjak perlahan ku keruangan sempit tempatku berdedikasi tentang hobi dan manjakan otakku dengan cerita yang dijabarkan imajinasiku. Menit berlalu mengitari detik, perlahan menyempit dan kelam pun menemani suram. Aku terdiam, diam dalam hanyut yang menyentirkan harap
            “Akbar, jagakan aku di sepertiga malammu”. Bisikku pada pencipta dengan bahasa dan harapku pula. Dengan di tatih kelelahan, aku pun mulai memejamkan mata. Tertidurlah aku dengan rona di bunga tidur yang tak kupahami pula. Aku tidur dengan damai yang hamper memadamkan penatku.
            Lama juga ku bersemayam dalam mimpi yang tiada makna, hanya saja ia menutupi rentang waktu yang tercipta dan hilang dalam penatku dalam nuansa yang penuh tak beraura. Hingga siang menjelma dengan rautannya pula.
            Ku terhenyak dalam nafas yang tak berirama.
            “Tuhan, sepertiga malamku ?”. Desahku dengan jantung yang berirama, tak tau siapa yang akan menjawabnya.
            Ada rasa takut yang mulai mengitari lingkaran sukmaku ketika ku paham shubuh ku berlalu dan tahajudku tak mau menyinggahi. Ku periksa rautan jasadku.
            “Huff, aku lupa wudhu sebelum tidur”. Parauku di sertai kantuk yang tak kunjung beranjak.
            “Chen”. Sapa ibu yang tiba-tiba berada di pintu kamarku.
            “Ibu”. Balasku pula dengan raut iba, seakan ibu paham apa yang tertera dibenakku. Beliau pun merangkulku.
            “Ketiduran, masih bisa kok. Dhuha juga masih ada”. Balas ibu. Ibu benar, dengan ditemani rasa kantuk yang tersisa, aku pun beranjak meninggalkan ibu dan beralih kekamar mandi.
            Usai shubuh, ku lanjutkan curhatku pada semesta dengan menggaduh waktu dhuha dengan semraut yang tersisa. Aku ingin alam dan pencipta mendengarkan rasa yang berkoar. Dan aku ingin hari-hariku dimulai dengan pagi ini secerah mentari.
            Usai shalat ku tunaikan, bunda mendekatiku dengan wajah penuh harap. Ada raut prihatin melihat ku tapi ku berpura untuk tidak tau.
“Ada kuliah hari ini, dek?”. Tanya bunda lekat.
Aku menggeleng.
“Trus, rencananya kemana?”.
“Kemakam papa”. Jawabku singkat membuat ibu terdiam.
“Sama siapa?”.
“Robbi”.
“Habis itu langsung pulang, ya”.
“Ya, nda”. Balas ku pula dengan nada rendah, karena planning dalam otakku adalah berjalan mengitari kota kelahiran bunda hingga lelah tersua dan kembali menuai  sakit, bersama Robbi.
“Robbi mangnya gak kuliah, Dek?”. Tanya bunda lekat.
Aku menggeleng.
“Kamu satu kampus sama dia, kan?”.
Aku mengangguk.
“Satu kelas”.
Aku menggeleng.
“Ada masalah kamu, nak?”. Ucap bunda lagi merasa heran melihat tingkahku. Aku diam sejenak, dalam tunduk aku berujar.
“Bunda”.
Bunda mendekat dan merangkulku.
“Setiap masalah, pasti ada jalan keluarnya sayang”. Jawab bunda menenangkan,”Cerita lah”. Bujuk bunda.
“Bunda, uang kuliah Chen, satu minggu lagi, dapat uang dari mana kita ?”. sahutku dengan suara iba. Bunda diam sejenak.
“Sabar, sayang. Rezky untuk kuliah itu Insya Allah ada, nak. Berdoa lah”. Bujuk bunda lagi. Aku kembali hening. Hingga yang terdengar pagi itu hanya suara berisik cicak yang entah hendak mengutarakan apa.
“Bunda”. Panggil ku lagi seraya menatap lepas di balik jendela.
“Kalo, Chen BSS dulu, gimana bunda?”. Pintaku, bunda kaget.
“Gak usah”. Tangkas bunda lekas
“Chen  kerja dulu, tar kuliahnya dilanjutin lagi”.
“Bunda masih bisa cari uang untuk kamu!”. Bentak bunda sedikit bengis
Tuhan, bukan ku tak menghargai jerih bunda, tapi ku iba pada sosok yang telah rapuh mencari nafkah, menguliahkan aku dan melakukan pengobatan untukku. Dan aku juga takut, jikalau nanti harapan dan cita bunda untukku menggapai gemilang adalah tabu, tentu segudang kecewa akan menghampirinya. Aku tak mau itu. Aku sayang bunda!
Bunda berlalu menuju warung mini cipataannya dan  meninggalkan usapan hangat di kepalaku.
“Aku sayang bunda”. Desahku,”Papa, aku rapuh, pa”. Raungku di balik tangis yang ku paksa untuk tidak tumpah.
Kemudian ku beranjak menatap rona di celah kaca. Berupaya untuk tetap menampakkan senyum dalam raut aku pula. Hingga handphone yang entah keluaran tahun berapa yang tepat berada di meja belajarku, berbunyi.
“Robbi”. Gumamku menatap nomor pemanggil yang tertera di hp ku. Ku angkat.
“Aku di luar”.
“Masuk aja”.
“Malu sama bunda”.
“Santai aja”. Balasku meyakinkan. Baru lah ia masuk.
Bunda tak ada komentar karena pandangan pertama ketemu sama Robbi sangat  baik. Robbi dengan santun bersalaman sama bunda. Lama juga ku keluar. Hingga bunda bercengkrama dengan Robbi seraya mengambilkan permintaan pelanggannya.
“Sorry, gw telat”. Timpalku membuncahkan keasyikan obrolan bunda dan Robby.
“Loe mang slalu  telat”. Timpalnya pula. Aku diam, tidak dengan senyum yang ku punya.
“Chen keluar ya, bunda”. Balasku pada bunda. Bunda mengangguk seraya meyodorkan tangan untuk ku ciumi.
“Jam setengah duaan pulang ya, nak. Obatmu”. Balas bunda lagi, aku mengangguk. Roby juga pamitan dan kami pun berlalu. Hanya hening yang menemani dalam perjalanan.
Sesekali meredam keheningan, Robi bertanya tapi ku jawab apa adanya. Hingga Roby memilih diam dan tak bersuara. Tempat yang kami tuju sama seperti biasanya. Gallery lukis punya sepupu Robbi. Ku habiskan hari-hariku dengan melukis objek mati yang serasa menari dimataku.
Sesekali Robbi mengalihkan muka ke aku, tapi ku upayakan untuk tak melihatnya. Merasa tak di pedulikan, ia kembali diam.
Hanya cahaya yang mampu menukaskan jemariku dan menghantam rentetan imajinasiku akan objek yang mengganjal. Hanya waktu yang mampu menepiskan piluku saat meraut ribuan warna di atas kanvas, hanya detik dan haluannya yang memadamkan semangatku dalam mencari lembar uang yang membuatku tegak dengan satu kaki yang terkadang angin membawaku untuk berarak kemana arahnya namun ku upayakan kekokohan menemaniku.
Hufffftt….
Waktu berjalan dengan lambat hingga merapat dan akhirnya waktu tunggu yang benar-benar ku nantikan datang juga. Aku sedikit terperangah memandang lama haluan yang ku sendiri tak paham. Dan ku tetap berdiam menyaksikan kelugasan waktu menari di pelipisku. Dalam ketidak pahaman mataku menatap yang di depan aku pun berujar setengah berbisik.
“Gambar apa ini?”. Gumamku bingung diantara lukisanku. Ku hela nafas berat dan kemudian ku biarkan waktu menemaniku mencari tema sebuah goresan di atas kanvas. Hingga akhirnya ku bertemu dengan sebuah kata judul. Judul yang ku sendiri tak tau itu apa.
Agak menggeliat sel syarafku menyaksikannya.
“Chen!”. Sapaan seseorang persis membuyarkan lenaku. Terjagaku dan menatap lama arah suara.
“Kenapa!”. Balasku ketus, ia mengernyitkan jidat, aku bingung dan kemudian tanpa piker panjang pun berlalu darinya.”Aku bosan”. Sambungku lagi datar, ia mengangguk paham.
“Lukisan kemaren uda terjual, Chen!”. Sahutnya pula.
“Berapa?”.
“350”.
“Alhamdulillah!”. Sahutku pula dengan raut senang. Kenapa tidak, uang kuliah sebentar lagi, meminta pada ibu, ibu dapat uang dari mana? Minjam? Bayar pake apa?
“Kenapa kamu?”.
“Gak apa-apa”. Jawabku pula, bukan sombong atau pun gak ingin terjun pada ucapannya, hanya saja aku hanya ingin tak seorang pun mengetahui luka yang ada padaku saat ini dan seterusnya.
“Aku pulang”. Sahutku lagi.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

Cerita Motivasi - Rasa Yang Tak Bermakna

Cerita Motivasi yang mengharukan, Cerita Motivasi Yang Memilukan, Kisah Semangat Pagi cerita, Aku kini masih dengan buku sebelumny...