Wednesday, May 30, 2012

Aku, Ketika papa pergi



1
Aku ingin mengisahkan sebuah cerita, bagiku cerita itu sebuah palu yang hampir setiap hari memukuli pundakku bila kata “malas” mendekatiku. Dan kisah itu merupakan mimpi indahku saat kata “utuh” masih menyertai kami.
                “Papa Besok dioperasi”. Lirih bunda berkata dibalik airmata yang kelihatannya segan untuk tumpah.
                “Mang gak ada alternatif lain, nda?”. Sahut kakak pula dengan nada tak rela, karena memang fisik papa yang begitu lemahnya. Kenapa tidak, setelah kecelakaan itu, kaki papa yang luka itupun infeksi, belum lagi papa merasakan nyeri dibagian perut.
                “Gak salah, kan. Aku nonjok penabraknya! Gak salah juga kan aku hajar dia sampe giginya copot!”, sahutku pula dalam geram yang tertahan,”Kalau aku punya kesempatan dan izin dari papa dalam 2 huruf saja, maka aku akan lampiaskan kemarahanku padanya, tapi...! Ah! Aq  tidak bisa apa-apa, aku sayang papa!
”. Tambahku lagi dengan nafas sesal.
                “Bunda, ke bank. Anterin bunda, kak”. Pinta bunda lagi tanpa menatapku atau pun kakak”Kamu jagain papa, yah!”. Sambung bunda lagi, Tanpa sempat ku memberikan anggukan, bunda berlalu. Beralihku ke dipan megah sebuah rumah sakit ternama dikota ku itu, ku tatap lama raut yang menua didepanku.
                “Kenapa?” ucapnya pendek dengan suara tertahan.
                Aku menggelengkan kepala, takut berujar yang membuat sedihnya.
                “Udah makan?”.
                Aku mengangguk.
                “Gak latihan?”
                Aku menggeleng
                “Kenapa?”
                “Chen sayang papa!”. Jawaban singkat yang membuat mata ku berkaca dan kemudian beningnya tumpah.
                “Papa ingin kamu punya banyak medali”. Ucap papa lagi seraya mengembangkan tangan memaksaku untuk bersemayam dipelukannya. Aku kembali tak bersuara.”Papa gak ingin punyaa anak cengeng, papa ingin kamu jadi jagoan, jagoan yang membuat papa dan bunda senang”. Tambah papa lagi dengan suara terbata-bata. “Papa sakit gak lama, kok. Bentar lagi juga sembuh. Jadi latihan aja, ya sayang!”. Bujuk papa lagi, “Biar bisa ikut kejuaraan besok, sekarangkan seleksinya”. Tambah papa lagi.
                Begitulah papaku, keberhasilan dari hobi yang kujalani didukung penuh olehnya. Meski terkadang dukungan papa mendapat protes dari bunda. Papa tetap membela.
                “Papa ingin kamu hadiahkan emas untuk papa”. Sambung papa lagi. Dengan kepala menyandang beban ribuan kilo, ku upayakan mengangguk.
                “Coba telpon sabbam Herman!”. Tegas papa selepas anggukanku.
                “Tapi, pa. Chen pengen liat papa operasi!”. Ucapku dengan tangis mulai tumpah.
                “Gak ada untungnya, nak. Mending qm ikut aja. Pergi dan kembali dengan emas untuk papa. Kalau papa bangun, liatkan sama papa. Biar papa bangga dan lebih bangga lagi punya jagoan seperti anak papa ini!”. Semangat papa. Seraya menyeka airmataku.
                Dengan gemetar yang masih mendera, ku tunaikan permintaan papa. Ku hubungi sabbam Herman untuk mengikuti seleksi kejuaraan itu. Dan sabbam pun memberikan posisi terbaik untukku. Tanpa seleksi aku di izinku untuk turun di kelas bantam. Esok harinya.
                Papa tersenyum sumringah melihatku.
                “Papa yakin, anak papa pasti bisa! Siapa dulu dong, jagoan papa”. Sahut papa lagi dengan nada yang berbeda dari sebelumnya.
                “Chen sayang papa!”.
                “Saat bertanding,, konsentrasi dan pelajari gerak-gerik lawan”. Ucap papa lagi, aku menggangguk.
                Apakah mungkin aku bisa mengikuti perlombaan itu, sementara papa dirumah sakit? Apakah aku bisa konsentrasi? Apa aku bisa hadiahkan emas untuk papa? Huff…
2
                Pagi ini, papa operasi dan aku beranjak kesebuah daerah bersama kontingen TC dan pelatihku. Berurai air mata ketika kuutarakan pada papa dan bunda, aku pergi. Bunda tak berucap apa-apa. Hanya saja papa dengan senyum seadanya memamerkan semangat baru untukku.
                “Kamu pasti bisa, papa yakin. Ingat nak, sesuatu hal yang kita bisa, yang memberikan kontribusi bagi orang  lain, itulah hal yang paling membuat kita berharga, pergilah, kamu pasti bisa, karena yang kamu bisa adalah yang membuat papa, bunda dan kakak bangga!”. Nasehat papa dengan nada terbata.
                “Tapi, kalau papa selesai operasi kasi tau chen ya, pa!”. pintaku disela air mata yang tak kuasa henti.
                “Iya, nak. Ketika kamu pulang dengan medali, papa telah sembuh. Pulanglah dengan medali yang dikalungkan dilehermu, ya!”. Ucap papa lagi, akupun memeluknya dan kembali tangisku meluap.
                “Jangan pergi dengan tangis, gak baik! Diamlah”. Kata papa lagi,  
                Aku pun menekan tangis yang merombak keluar, meski sedu sedannya masih terasa. Papa tak mau melapaskan pelukannya, jika airmata masih mengalir dipipiku.
                “Diam dulu!”. Kata papa, ketika ku ingin pergi, ku coba dan coba menahan tangis, hingga tertekan rasa hatiku ketika air mata benar-benar tak tampak lagi.
                “Sekarang pergilah, papa yakin kamu bisa, jangan lupa baca bismillah, ya nak!”. Seru papa dengan tenaga seadanya. Aku mengangguk dan berlalu diiringi Robi.
                Diluar ruangan itu, ku tumpahkan sisa airmata yang ada. Ku rapatkan raungku dengan memukuli dinding rumah sakit itu.  Aku menangis tanpa jeda, aku meluah hingga dadaku terasa kosong.
                “Jangan nangis! Kabulkan permintaan papa, Obi yakin kamu bisa!”. Ucap Robi dengan semangatnya pula meski ku lihat matanya berkaca merah.
                Aku masih tak bersuara, mataku mulai sembab, dan fikiranku mulai tertuju pada papa dan ucapanya. Ada sesuatu yang aneh ku lihat, namun aku tak berani mengambil kesimpulan. Yang ku tahu, aku sayang papa, dan akan ku lakukan apapun yang membuat papa bangga.
3
                Hari ini, Rabu 08.30 wib. Aku akan turun. Hanya ada satu tujuanku, emas! Ya medali emas yang akan dikalungkan dileherku, dan ku bawa kehadapan papa, hingga papa berutara, Kamu jagoan papa, papa bangga!. Itu kata-kata yang ku inginkan.
                Menit berlalu mengarungi detik hingga akhirnya masa untukku naik ring pun tiba. Wasit yang ku sendiri telah kenal sebelumnya, menatap lama wajahku dengan mata sembabku pula.
                “Aman?”. Tanyanya singkat dan padat.
                Aku tidak menjawab ia atau tidak, tapi ku acungkan jemari dengan telunjuk dan jempol bertaut. Ia mengangguk membalas serupa aku pula.
                Permainan pun dimulai, ia berucap Kalyo dengan aba-aba yang semestinya. Ronde pertama pun dimulai, lawanku berasal dari kota yang kutakuti pula, namun karena papa, aku beranikan menargetkan emas untuk dibawa pulang. Dahulu, bagiku mengiikuti sebuah kejuaraan, menang ataupun kalah tak masalah, asalkan emosiku terlampiaskan. Tapi kini, aku targetkan aku harus bisa meraih emas, karena aku tak mau raut sedih akan dipajang papa ketika aku pulang tak membawa apa-apa.
                Saking semangatnya aku, ronde pertama ku raih kemenangan karena ku bisa melumpuhkan lawanku. Ronde kedua dimulai, pikiranku mulai tak tenang, wajah papa semakin menghantui, ku dekati Robi dan ku minta untuk menghubungi kakak. Robi hanya mengisyaratkan dengan jempolnya pula, seolah-olah menandakan papa baik-baik saja. Dan operasi berjalan lancar. Aku percaya dan kembali ku lanjutkan permainanku.
                Teknik bantingan yang diajarkan papa membuat lawanku benar-benar KO. Dan ku pun kembali meraih kemenangan. Anehnya pelatih dan juga wasit dengan lekasnya mengalungkan medali  dileherku, padahal masih ada satu ronde lagi, dan itu belum ku lalui.
                “Ronde 3?”. Tanyaku pada sabbam Yoki.
                “Dua ronde kamu menang, ronde tiga kamu sudah pasti menang!”. Tegas sabbam Yoki pula.
                “Saya gak suka KKN!”. Tegasku mulai marah.”Saya gak mau dikasihani!”. Tambahku lagi. Aku mulai geram tapi airmata juga mulai menghujan dengan tiba-tibanya.
                “Siapa juga yang mau ngasihani kamu. Kamu gak lanjut karena memang gak ada lawan, jadi kamu menang bye!”. Celetuk Robi lagi, membuat aku benar-bener bingung. Dilihatkannya jadwalku, baru kemudian aku mengangguk.
                “Sekarang kita pulang, karena papamu menunggu!”. Balas Robi pula.
                “Gimana aku bisa pulang”. Sungutku pula dengan paras yang mulai bingung.
                “Aku bawa motor”. Sambung lekas Robi,”Ipank, Ronald, Didi juga, kita pake motor aja”. Tambahnya pula.
                “Hujan”. Balas sabbam Yoki. Semua bertatapan, mataku mulai berkaca.  Tak sengaja ku alihkan mata menatap mereka satu persatu.
                “Kalau aku, ok2 aj!”. Celetuk Ronald. Semua mengangguk, “Kamu?”. Tanyanya lagi ke aku.
                Aku mengangguk. Tanpa kata pun semua berlalu.
                Hujan makin deras, hingga jalan pun semu terlihat. Aku tak berucap apa-apa, yang ku inginkan semuanya semangat membawaku dan medali pesanan papa pulang.
                “Chen!”. Panggil Robi, yang kebetulan aku boncengan dengannya, ia menatapku dibalik spion. Aku menatapnya pula,”Aman?”. Sahutnya lagi, aku mengangguk. Ia tetap melaju.
                Di perjalanan,  ban motor Didi kempes, kami berhenti, Didi yang terbiasa membawa alat-alat bengkel mininya memperbaiki, agak lama juga, setelah itu kami berlalu.
                Perasaanku campur aduk, ada Tanya ada haru, ada sesuatu yang membuat aku bingung dan hati terasa tersedak.
                “Gimana perasaanmu?”. Tanya Robi kaku, seolah dampak hujan begitu lekat di kata-katanya.
                Aku menggeleng.
                “Papamu pasti senang!”.
                “Aku hanya ingin papa sembuh!”. Lirihku. Robi tak membalas, aku kembali diam.
                Detik melaju dengan kencangnya, sekencang motor yang dilajukan Robi.  Menit pun memaksa waktu menghampiri jam, hingga genap 3 jam barulah ku tiba di tugu ikan, lambang kotaku. Hujan telah berhenti, agak dingin kurasa dijengatku, badan ku yang basah kuyup mungkin akan kering dibadan karena lambaian angin dijalan. Aku gak apa-apa capek asalkan ketika pulang, ada senyum sumringah papa dengan raut bangga melihatku. Aku juga gak apa-apa sakit asalkan papa sembuh, aku sayang papa.
                “Kok belok, Bi!”. Sanggahku,”Aku pengen ke tempat papa! “. Sambungku lagi.
                “Kabarnya papa uda ok, kita pulang aja, papa mungkin rawat jalan”. Jelas Robi pula tanpa melirikku melalui spionnya.
                “Masa?”. Tanyaku bingung.”Brenti!”. tegasku lagi. Robi diam.”Kalau gak, aku lompat!”. Seruku. Robi menghentikan laju motornya. Ia diam. Tak seperti biasanya.
                “Kenapa brenti?”. Seru Ronald Pula. Robi hanya menunduk.
                “Kenapa belok?”, sahutku lagi.
                “Papa uda pulang”. Balas Ronald datar dan tak menatapku.
                “Ibu gak nelpon aku”.
                “Hp mu low”.
                “Batraiku penuh!”
                “Mana?”
                Aku berusaha mencari dimana hpku, ketika ku lihat.
                “Mati”. Ucapku lagi, “Pinjam hp mu, Bi”.
                Robi yang ku panggil tak banyak bicara dan langsung menyerahkannya padaku. Ku hubungi ibu, kakak dan semua yang ada dirumah. Tak ada yang angkat, nomor ibu pun gak aktif.
                “Oby”. Panggilku dengan mata berkaca.
                “Yuk”. Tukas Robi lagi, aku mulai naik motornya.
                “Perasaanku gak enak”. Balasku lagi, Robi diam.
                Tuhan, berikan kesembuhan untuk papa, izinkan waktu-waktu  indah kami miliki bersama. Berikan waktu untuk papa melihat gemilangku. Lindungi dan sembuhkanlah papa ya Allah…
                Lama juga mengukur jalan ke rumah. Jantungku semakin tak tenang, degupannya hampir melebihi batas normal. Yang ada dibenakku hanya papa, papa dan papa.  Ku genggam erat medali yang bergelantung dileherku. Semakin kencang laju motor semakin kencang pula hati berdoa untuk papa. Beriringan itu pula, ambulance melewati kami dengan kencangnya.
                “Papa!”. Teriakku tertahan. Ku alihkan muka kearah Robi, Robi diam.
                Laju motor semakin cepat, ambulance itu pun juga melaju dengan lekasnya, hingga hilang dari pandangan mata. Perasaanku tetap dengan semula, deg-degan, cemas dan lain sebagainya.
                Memasuki gank ke rumah, tak ada leganya perasaanku.
                “Kok rame? Papaku?”. Seruku, belum berhenti utuh motor Robi, aku udah lompat.”Papa, Bi”. Tukasku, Robi diam tanpa kata.
                Aku berlari menuju pagar rumah, kakak menyambutku, memelukku dengan mata yang mulai sembab.
                “Papa, kak?”. Sahutku pula, kakak menggeleng, aku meronta dan berlari dengan secepat lajunya kilat memancar. Di depan pintu bunda menyambut dengan tangan mengembang, berupaya untukku bersemayam dipelukkannya. Bunda mendekapku erat dengan sisa sedu sedannya.
                “Chen menang, bunda. Mana papa?”. Sahutku pula, bunda tak sanggup bersuara. Aku berupaya melepaskan pelukannya. Aku berlari menuju ruang tamu yang telah disulap kosong. Tak ada kursi, tak ada meja bundar lagi, hanya ada papa yang terbujur kaku tiada daya, papa yang tak bisa memanggilku dengan kata jagoan, papa yang hanya diam dan tak mengucapkan selamat atas apa yang ku raih, ya, hanya ada papa yang tertidur dalam kurun yang lama, di hadapku.
                Tersungkurku jatuh tak berdaya, tangisku mulai buncah, airmataku tak bisa ku bendung lagi.
                “Bangun, pa. Chen menang!”. Ucapku dengan nada tertahan dan memegang tangan papa yang melipat di dadanya. Papa masih hening dan takkan menjawab meski hanya sebuah senyuman.
                “Lihat Chen, pa. bangun papa!”. Ucapku mulai teriak,”Papa….!”. sekuat tenaga ku panggil papa yang masih diam. Kakak mendekat dan mendekapku.
                “Bilang sama papa, kak! Chen menang!”. Sahutku lagi, kakak semakin mendekapku
”Istighfar, dek”. Balas kakak lagi.
                “Chen ingin papa liat, sebentar aja, kak”. Ucapku disela raung. Kakak tak sanggup berutara, hingga lelah dan sesak menghentikan laju airmataku, dalam waktu yang tak ku tau kapan ku akan terbangun,  hingga ku rasakan kosong didada dan sel syarafku menegang. Hingga terpaku ku dalam keinginan yang ku takkan pernah bisa menggapainya, dan terhenyakku dalam raung yang entah kapan berhentinya. Bangun ataupun tidak ku dari semayam yang menuai luka, hati dan hari-hariku akan terus diikuti kehilangan, kehilangan akan papa, kehilangan pencetus semangatku, kehilangan bumerangku, kehilangan motivasi terhebatku.
                Setelah ku terjaga, aku hanya bisa berteriak dan berkata pada selembar kertas, yang entah kapan memberikan jawabannya, tentang apa yang papa katakan bila melihat aku dengan prestasiku, tentang apa yang akan papa katakan jikalau melihatku yang mulai lelah dengan apa yang kucari. Yang ada sekarang dan masa yang tak ku tau dalam setiap syair dan diaryku hanyalah aku sayang papa ada disetiap denyut nadiku.

         Medali pertama yang kudapatkanpun ku hanyutkan disela deburan ombak, seraya terisak ku teriakkan dengan parau yang mungkin terbata, aku hanya inginkan ini untuk papa, saat papa pergi, medali itupun juga tak ada maknanya bagiku,, hanya akan menyisakan luka yang entah sampai kapan… :’(




2 comments:

  1. waah...yeyen, jd terharu saya baca nya, mdh2an ye2n tetap tegar dan slalu doakan ayah dan bunda nya yah.. :)
    ingat, jgn takut orang baek n menyayangimu slalu ada di sampingmu...amiin. :)

    ReplyDelete

Cerita Motivasi - Rasa Yang Tak Bermakna

Cerita Motivasi yang mengharukan, Cerita Motivasi Yang Memilukan, Kisah Semangat Pagi cerita, Aku kini masih dengan buku sebelumny...