Berbagi cerita itu indah. Dan kali ini masih seputar kisahku. Hanya
beberapa orang yang mengetahuinya. Dalam kisah sebelumnya aku pernah memaparkan
nama yang sama. Ada Ronald, Ipank dan Didi. 3 sahabat yang selalu menemani
hariku.
Dari dulu, aku selalu menomor
satukan sahabat, dan sahabat adalah pelengkap ceritaku. Tapi kali ini, sahabat
dan pacar sejalan dalam cerita ini. Perkenalan pertama waktu itu saat kejuaraan
juga. Ia pemain terbaik didaerahku. Setiap kejuaraan yang ia ikuti, tidak
pernah membawa perunggu, selalu membawa emas dan perak. Itu langganannya.
Berbeda denganku, yang hanya berniat melumpuhkan lawan saat bertanding.
Kisah itu berawal dari sebuah
latihan gabungan di lapangan merdeka Pariaman, tak ada yang tau saat itu,
gelagatnya, Robi. Termasuk aku. Ia sempat menghipnotis keseluruhan peserta,
kecuali aku. Saat itu ia berusaha mendeskripsikan rasanya didepan kami, dengan
nada yang sedikit sendu dan deg-degan, kemudian ia menatapku lekat. Dan waktu
itu aku berusaha untuk tidak melihatnya, karena memang aku tergolong cuek. Dan
kemudian dia mengambil target dan
memegangnya erat.
“Rasa itu berawal dari sebuah kejuaraan di lapangan kantin beberapa bulan
yang lalu…”. Ceritanya yang tiba-tiba terhenti karena ejekanku.
“Piu-Piu!”. Sorakku yang memang terkenal ledekannya. Ia bukannya marah,
namun hanya tersenyum, hanya saja teman-teman sekeliling yang menyumbat mulutku
dengan sorak sorainya.
“Ah loe, gak bisa diem, ya. Dengerin dulu. Lihat Julia tu, deg-degan
denger pernyataan Robi”. Celetuk kak Vivi.
“Mau nembak Julia ya, kak?”. Sahutku pula.
Kak Vivi mengangguk.
“Mang Julia suka”. Balasku pula penasaran.
“Ya elah, Chen! Tulalit!”. Balas kak Vivi sedikit geram.
Mendengar kak Vivi ngemeng kek gitu, aku langsung diam.
Robi berlanjut dengan ceritanya,
“Sebenarnya udah lama aku ingin sampaikan rasa ini. Tapi selalu
terhalang. Dan terkadang, cewek yang ku tuju pun gak tau kemana, menghilang
begitu saja, padahal dari pagi ada”. Ceritanya sedikit curhat.
“Itu sih derita loe!”. Sambungku juga setengah berbisik.
“Aku hanya ingin sampaikan padanya, Tapi… “.
Lagi-lagi terpotong suaranya karena ocehan semua.
“Cie-cieee, Julia tuu!”. Balas sabbam Yoki pula.
“Julia, Julia!”. Teriak yang lain seraya bertepuk tangan. Aku pun juga
ikut, meneriaki nama yang sebenarnya hati kecilku juga susah untuk menyebutkan
namanya. Bukan karena aku menyukai Robi, bukan. Tetapi, bagiku seorang Julia
yang centil gak sesuai digandengkan dengan Robi yang terkenal cuek namun
bijaksana.
“Yang Oby suka darinya selama ini, semuanya. Kekonyolannya, keisengannya,
kejahilannya”. Sambung Robi lagi. Semua terdiam.
Terbesit Tanya di jidatku, konyol, iseng, jahil. Siapa yang dimaksudkan.
Sementara garis cerita Julia hanya ada centil,
sexi, cantik.
“Oby punya sebait lagu untuknya”. Sambungnya lagi seraya memanggil Ronald
yang sedari tadi siap dengan gitarnya pula.
“Keknya udah dirancang ya, kak?”. Bisikku pada kak Vivi.
“Ah, lo tenang aja. Diam dan dengarkan!”. Bentak kak Vivi.
“Sialan Vivi backam, nanya ja g boleh!”. Sinis ku, kak Vivi bukannya
menjawab malah tetap termangu dengan adegan yang di pertontonkan dihadapan para
pelatih dan tae kwondo in itu.
“Pernah berfikir tuk pergi
Dan terlintas tinggalkan disini
Sampai kapan ku tahan seperti ini
Coba lari dari kenyataan taapi….”
Nyanyinya terhenti dan secepat mungkinku menyambungnya, “Ku Tak bisa,
jauh, jauh, darimu”. Diiringi pula tepuk tangan hangat sekeliling.
“Chen Yen tu”. Ledek sabbam Yoki.
“Hubungannya dengan ember?”. Jawabku asal. Seraya beralih muka ke Julia,
sumpah demi kepala botaknya Didi, aku tidak sengaja melanjutkan lagu itu. Lagu
itu fafouritku, jadi wajar kalo aq jadi telmi.
“Terimakasi sambutannya, Chen”. Ucapnya seraya tersenyum,”Dan untuk kamu
yang Oby tunjuk, Oby tau rasa ini bukan
hanya milik Oby saja, tapi kamu juga. Hanya saja kamu terlalu keras kepala”.
Jelasnya lagi.
“Udah tau keras kepala, ngapain juga pake nembak. Lama lagi, kek gak tau
aja kita mau pulang”. Omelku pula.
“Kamu kalo gak diem, mulutnya kakak sumpal pake stagen, mau!”. Gertak kak
Vivi.
Aku menggeleng.
“Oby suka sama kamu, Oby sayang sama kamu. Oby minta kamu kedepan hanya
sekedar untuk memberikan jawaban, apakah rasa kita sama, atau hanya sekedar
saja”. Ucapnya lagi,”Sebelumnya, didepan Oby ada doraemon dan ada Target, Oby
tau kamu suka doraemon!”. Sambungnya lagi,
Dan seketika itu juga mukaku berona merah karena yang ku tau persis
pecinta doraemon itu diantara mereka adalah aku, seakan aku ingin beranjak dari
lingkaran yang mengelilingi Robi. Namun dengan gesit seseorang meraih tanganku.
“Hargai orang, kalau kamu pergi, persahabatan kita sampai disini!”. Ancam
tetangga disampingku, sibotak didi.
“Kenapa harus gue!”. Balasku,”Kan gw usil sama dia!”. Tambahku lagi.
“Dengerin aja!”.
“Chen”. Panggilnya membuat jantungku tiba-tiba berhenti berdetak.
“Tu kan gw”. Ucapku setengah berbisik pada Didi.
“Lu hargai dia! Jawab sesuai hati lo!”. Balas Didi.
“Chen, jika rasa ini sama. Maka kamu ambil Doraemon ini dan kamu tendang
target ini dua kali. Jika tidak. Cukup satu kali saja!”.
“Terima, Terima!”. Teriak semua yang tiba-tiba beralih ke aku. Awalnya
mereka sponsornya Julia. Julia yang menyaksikan itu tertunduk.
“Doraemonnya boleh gw bawa pulang, gak!”. Balasku dodol. Didi yang sedari
tadi disampingku mencubit pinggangku.
“Lw jangan pura-pura bego de!”. Tukas Didi.
“Chen, give me ur answer”. Balas Robi dengan bahasa planetnya.
Aku berdiri dan mendekat, lalu meraih doraemon di tangannya, kemudian aku
duduk. Dan semua meneriakiku.
“Woi doraaaa!”. Teriak mereka, robi tersenyum walau getir. Didi
mendorongku untuk tampil lagi. Aku pun berdiri lagi.
“Maaf bi, Julia mungkin lebih tepat untuk kamu dibandingkan aku. Kamu
lupa, ya. Kamu pernah mempermalukan ku dengan meneriakiku tulang itik di
lapangan kantin. Dan kamu juga pernah menyampaikan pada kontingen bukittinggi bahwa
aku rasa ceweknya ga ada alias mati rasa! Lupa, ya?”. Balasku sedikit emosi.
“Tapi itu caraku menyukaimu, Chen. Bukan menjelekkan kamu. Tapi aku ingin
kamu saat bertanding tidak mendahulukan emosi, dan tidak sekedar pelampiasan
saja!”. Jelasnya
“Itu bukan urusan kamu!”.
“Itu urusanku, karena papamu ingin kamu punya banyak prestasi!”.
“Jangan ngomongin papa disini, gak ada hubungan antara papa, prestasiku
dan kamu!”. Balasku dengan emosi yang mulai memuncak.
“Jadi gimana? Apa rasaku ini hanya milikku saja”.
“Bukan urusanku!”. Tegasku dan berlalu. Didi mengejarku.
“Chen!”. Cegat.
“Jika hanya karena cinta kamu
tidak mau menganggap aku sahabat, ya sudah. Pergi aja!”. Balasku.
“Gak, kamu sahabat aq!”. Balas Didi. Mataku berkaca.
“kenapa kamu nangis?”.
“Gak”. Balasku dan meraih motorku setelah itu berlalu.
Aku gak paham rasaku saat itu, apakah aku menyukai Robi atau tiidak
sementara aku tau, Julia sangat suka dia.
Berlalu juga waktu mengiringi detik, aku dan Robi hamper tak ada
komunikasi, kedatipun ketiga sahabatku mengupayakannya. Hingga waktu itu senin
pagi, saat waktu memaksaku untuk pergi dengan lekas meuju sekolah. Paginya ibu
sudah rebut.
“Udah jam brapa, Chen?”. Ingat ibu.
“Lama lagi bunda”. Balasku pula.
“Kamu jauh, Nak”. Ucap bunda lagi, gak ingin bundaku ngomel, aku beranjak
lekas. Seraya terlebih dahulu mencium punggung tangannya pertanda pamit.
Baru tiba di gank rumah ku, aku ingat topi sekolah dank u berbalik lagi.
“Astaghfirullah, Chen. Apa lagi? Gak baik bolak balik!”. Geram bunda
tertahan.
“Topi”. Jawabku singkat seraya berlari kekamar, dan kemudian pamit lagi.
Seperempat perjalanan, aku ingat buku catatanku yang harus ku bawa,
karean guruku itu hobi periksa catatan. Ku balik lagi.
“Allahuakbar, nak. Apa lagi? Perasaan bunda gak tenang”. Balas ibuku.
“Gak pa-pa, nda. Insya allah!”. Tukasku. Dan kemudian beranjak dengan
lekasnya. Mengingat waktu yang hanya berbatas lima menit lagi, akupun melajukan
motor dengan kencang sehingga ku lupa kecepatannya berapa. Hingga akhirnya
kekhawatiran ibupun terjadi, ada lawan dari arah yang berbeda menubrukku hingga
ku terlempar beberapa meter.
Suasana itu pun kurasakan hening.. L
Hanya maaf yang ingin ku aturkan pada ibu lewat catatan kecil ini, dan
hanya seutas sesal yang ingin ku sampaikan pada ibu melalui cerita ini. Aku tau
ini semua egoku.
Sungguh lama ku rasa terhening dalam kesendirian, diam tiada makna,
kendati ku mendengar lantunan asmaul husnanya kak andri, teriakan dan tangisan
bunda yang memelukku erat tapi saying, aku tak bisa mendekapnya. Yang ku bisa
hanya menyaksikan kebodohanku yang membuat semua berurai airmata.
Teman, lama ku merasakan sakit yang tiada taranya. Tapi sakit itu serasa
di obati dengan kehadiran ibu dan kakak yang selalu membacakan ayat-ayatnya.
Hingga hari ketujuh, akupun kembali menyapa dunia.
Meskipun seperti bayi yang baru lahir, ibu tak bosan mengajariku dan
membacakan padaku, hidupku. Hingga dia, cowok yang ku tolak dengan kata yang
tidak jelas itu haddir di pelupuk mata.
“Chen”. Sapanya dengan nada sendu.
Aku tersenyum, dengan raut yang jauh berbeda dari sebelumnya.
“Get well soon”. Ucapnya singkat.
Aku kembali tersenyum. Selanjutnya, tiga sahabat setiaku dating, mendekat
dan dengan senandung acak-acakkan, ia bernyanyi. Menyanyikan lagu Slank, yang
pernah Robi berikan
“Ingat lagu itu, Chen?”. Celetuk Ronald.
Aku tersenyum. Karena memamng memori itu terhenti. Kemudian tiga
sahabatku mengeluarkan poto saat kami mengikuti kejuaraan di Bandung.
“Ingat poto ini, Chen?”. Ujar Didi.
Karena memang aku lupa, aku pun kembali tersenyum dengan mata berkaca.
“Kamu akan ingat!”. Ucap ipank lagi. Dan kamipun bertangisan.
****
Teman, lama waktu berjalan hingga akhirnya, aku bisa mengingat masa
silam. Karena semua mengajarkanku kembali membangkitkan memory.
Dan, temand. Ia masih di dekatku, kendatipun jawaban dari pertanyaannya
kemarin tak terjawab. Ia masih setia mendampingiku.
“Bi”. Sapaku dingin.
“Ya. Kenapa, Chen”. Jawabnya, kala itu. Saat ia dating dengan edelweiss
ke Yos sudarso, tempatku.
“Julia mana?”. Tanyaku tanpa menoleh padanya.
“Gak tau”.
“Kamu gak jadian?”.
“Gak”.
“Kamu tau gak. Julia suka sama kamu?”.
“Tau”.
“Kenapa gak mau?”.
“Cinta gak bisa dipaksa. Sama halnya saat aq bilang suka sama kamu. Kamu
diam karena mungkin gak ada rasa”. Balas oby pula, ketiga sahabatku menunduk.
“Gak sakit hati. Kan ditolak”. Balasku dingin.
“Gak”
“Kenapa kamu suka?”.
“Kamu beda”.
“Sekarang?”.
“Tetap”.
Aku pun diam. Dan menunduk.
“Chen, jika rasa itu ada. Maka jalani aja chen”. Sambung Didi.
Aku diam.
“Oby gak nuntut jawaban qm. Qt jalani aja. Jika menurut kamu, Oby hanya
bisa jadi sahabat. Ya sudahlah, gpp”. Balasnya sendu.
Aku tersenyum.
Lama cerita sendu tercipta hingga Ronald membuncahkan semua dengan
ceerita lucunya yang mengundang tawa J
*****
Waktu berlalu lama mengelilingi detik, hingga akhirnya aku memutuskan
untuk menjawab Tanya robi yang sudah sekian lama. Kebaikan dan ketulusannya
mampu meluluhkan hati, dan satu hal yang selalu ku ingat, saat peristiwa yang
lumayan menyakitkan bagiku, saat itu aku membutuhkan pendonor, jika tidak ada
maka usailah semua. Dan lagi-lagi dia ada, dia jadi pahlawan hidupku kala itu,
bukan hanya aku saja, tapi bunda dan keluargaku juga mengakuinya.
Semua berjalan dengan indahnya, mahasiswa baru statusku kala itu. Dengan prestasi
yang hampir tiap triwulan mendekati membuat keakraban makin menjadi, antara
aku, Didi, ipank, Ronald dan robi. Pacar dan sahabat bagiku sama. Hanya status
saja yang membedakan. Setiap kali jalan, tiga sahabatku atau minimal satu
diantara sahabatku ada, sehingga gelak tawa tercipta, karena Robi, tipical
cowok yang tidak banyak bicara.
Waktu bergulir hingga tibalah saat itu, rabu 17 November. Paginya suasana
masih menyenangkan. Siang datang celoteh ipang membuat buyar. Senandung Tak selamanya selingkuh itu indah dari
ipang menuai Tanya bagiku waktu itu.
“Dari tadi nyanyinya itu aja1”. Tukasku pada ipang yang menyenandungkan
lagu yang selalu mengarah padaku.
“Robi selingkuh, Chen”. Jelas Ronald singkat dengan canda pula.
“EGP”. Balasku berpura tak peduli padahal di hati menuai Tanya, benar gak
ya.
“Gaya lw EGP, tar dirumah juga ditanyain sama kak andri!”. Ledek Ronald
lagi.
“Ah gak segitunya kale”. Belaku, ya memang begitulah aku dan kakak. Setiap
cerita suka dan duka kita berbagi bersama. J
“Ceweknya cantik lo, Chen”. Tibas Didi lagi.
Aku terdiam sejenak dengan kata kosong.
“Lw cemburu, kan?”. Ledek Ipang lagi,”Kita punya potonya, lo”. Sambungnya.
“Serius lo?”. Balasku terbawa situasi.
“Kurang lebih begitu”. Jawab mereka dengan nada cuek.
Dalah hati aku berfikir, wajar kalo Oby pengen yang lebih baik. Karena memang
aku tak seperti yang lainnya. Aku mungkin lebih mendahulukan sahabat ketimbang
pacar. Aku selalu banyak alasan ketika diajak malam mingguan. Aku selalu ajak 3
kru kalo dia mau traktiran. Dan satu hal yang mungkin jadi perbandingan, aku
tidak romantisan dan tidak perkhatian L
Lama ku terdiam, dan akhirnya ku raih hp.
“Mau sms robi ya?”. Ledek Ipang sinis
“Ah gak, mau kasi tau bunda. Aku udah selesai ujian”. Jawabku sekenanya.
“Mang lw ujian? Ujian apaan?”. Ledek mereka lagi.
“Ujian hidup”. Jawabku sekenanya. Mereka tertawa. Aku diam
Ku lihat arlojiku menunjukkan pukul 16.00, ku rakit kata dan ku kirimkan,
bukan pada buunda, tapi Robi.
“Selamat ya, Bi. Semoga kamu senang. Dan semoga dia jadi pilihan
terbaikmu. Sayangnya qm gak bisa jujur, coba jujur, mungkin akan jauh lebih
baik. Aku senang kalo kamu bahagia, Bi. Forget us!”.
Lima belas menit ku menunggu jawabannya. Dia tak membalas sms ku, tapi
langsung menelponku.
“Ada apa, Chen?”. Agakk sendu nadanya ku dengar
“O, gpp”. Jawabku dingin. Teman-temanku tertawa dengan ejekan. Mataku mulai
memanas, antara percaya dan tidak. Tapi ku enggan untuk menangis di hadapan
sahabatku.
“Maksud sms nya apa? Oby di jalan, ngopi modul kuliah. Mau ujian mid”. Singkatnya.
“Oya, gak apa2, hati-hati dijalan”. Balasku dan kemudian memutuskan
percakapan. Aku terdiam sejenak.
“Maaf Chen, kalo oby salah. Oby sayang qm”.
Pesan singkat yang ia kirimkan waktu itu. Dan kemudian hening. Tiga sahabatku
tertawa.
“Ternyata kamu memang belum percaya Robi ya, Chen. Padahal Robi dah saying
banget lo sama kamu. Kita becandain aja lo percaya”. Ledeknya. Aku bukannya
tertawa atau marah namun terdiam.
“Aku sama kalian sudah lama. Kalian udah kek saudaraku sendiri. Itulah bedanya
sahabat dengan pacar buatku. Tapi kalau kalian ternyata hanya ngerjain aku aja.
Ya bodohlah aq”. Balasku. Semua diam. Aku beranjak untuk pulang. Ketiganya mengikuti.
“Maaf Chen”. Ulasnya.
“Lupakan saja”. Jawabku seraya meraih hp. Dan no yang ku hubungi pun tak
aktif lagi.”Tadi aku sms Robi, sekarang perasaanku gak menentu. Hanya ingin
minta maaf. Tapi no nya gak aktif”.
Merekapun saling berpandangan.
“Kita gak bermaksud, Chen”. Sigat Ronald.
“Saya gak menyalahkan kalian. Itu murni kebodohan saya”. Ulasku.
“Maaf, Chen”. Ujar Didi, aku tersenyum, getir.
Menit ke tiga puluh, hpku berbunyi. Salsa, adiknya Robi.
“Kak”. Tangisnya tersedak.
“Ya, Cha?”. Balasku dingin.
“Bang Obi kecelakaan, di by pass tunggang”.
Seketika aku terdiam, Didi meraih hpku. Dan kemudian entah apa yang dia
sampaikan. Ia meraih tanganku dan mengajakku berlalu. Yos sudarso jadi tujuan
saat itu.
Setibanya disana, wajah yang dulu bersih, dan selalu cerita. Hening, diam
tiada kata. Seketika itu, airmataku buncah. Setengah berbisik aku berujar “Maaf,
Bi” tapi tak ada makna. Seketika itu osiloskop memainkan jantungnya
memperlihatkan grafiknya padaku. Mamanya datang, memelukku dengan tangisan yang
terbentang.
“sabar, nak”. Ucapnya menenangkanku. Aku masih terdiam, seolah semua
adalah mimpi. Wajah bersalah dipajangkan oleh sahabatku. Tapi, ku upayakan
untuk tidak menitikberatkan peristiwa ini pada mereka.
Berlalu waktu, kami beranjak dari ruangan itu. Baru beberapa langkah,
tangis menggema dengan pekatnya. Oby pergi untuk selamanya. Seketika itu pula
aku diam, dengan airmata tak tertahankan. Rasaku sungguh tak bisa ku utarakan. Ku
pandangi sms terakhirnya. Seperti luka yang masih merah di basuh pula. Perih. Sahabatku
menggengam erat tanganku.
“Maaf, Chen”. Sesal mereka karena cerita asal siang tadi. Bibirku kelu
menjawab. Dalam hatiku berujar, ini murni kecelakaan, taka da yang harus
disalahkan dan pantas untuk disalahkan. Beranjakku dengan gemetar menuju
ruangan yang tadi. Ku buka kain putih yang menyelimutinya. Dibalik airmata dan
tangisan keluarga yang membuncah. Aku berutara.
“Maaf, bi. Maaf. Maafkan kebodohanku tadi”. Balasku seraya berbisik. Salsa,
adiknya, mendekapku erat.
“Bang Oby tenang kak, membawa cinta untuk kakak”. Ucapnya di tengah
tangis.
Lagi-lagi suaraku serasa di cekam. Aku masih bungkam.
Waktu berlalu, Robi disemayamkan. Dan suasana itu lagi-lagi masih berupa
mimpi. Ketiga sahabatku tetap mengupayakanku untuk tegar. Hingga semua keluarga
berlalu, hanya tinggal kami berempat.
“Maafkan kami, Bi”. Ucap Ronald dengan nada basah. Lama bercerita tentang
kebodohan di makamnya, hingga akhirnya sore pun menjelang.
“Chen”. Panggil Ronald,”Pulang”. Balasnya lagi., aku mengangguk. Dan kemudian
berlalu dengan meninggalkan seuntai kalimat,”Maafkan aku, By”.
Setiap kisah perjalanan
kan tergores satu kenangan
mengungkap kenangan
bagai mengungkap tirai-tirai tipis yang mengitari waktu dan jarak
dikala hati dilanda sepi
simpul kenangan pahitkan terasa
yang menjalin hari-hari
bagaikan cambuk sang angkara murka
Masa lalu adalah kenangan
yang terkadang menyakitkan
kadang kala terasa indah
itulah kenangan yang membuat pura-pura
Bila kenangan hadir menguak
semua akan berubah
kemelut seakan berakhir
ketentraman datang emnjelma
Mengusik jiwa yang terasa hampa
Andaikan
Jarum jam berputar balik
andaikan bumi berbalik mundur
kan ku hapus kenangan pahit
ku sisakan yang terindah
Tapi
semua sudah tak mungkin
keajaiban tak akan terjadi
Kini
tinggal aku dalam sepi
dalam khayal tiada arti
Selamat jalan, By...
No comments:
Post a Comment