1
Aku ingin
mengisahkan sebuah cerita, bagiku cerita itu sebuah palu yang hampir setiap
hari memukuli pundakku bila kata “malas” mendekatiku. Dan kisah itu merupakan
mimpi indahku saat kata “utuh” masih menyertai kami.
“Papa
Besok dioperasi”. Lirih bunda berkata dibalik airmata yang kelihatannya segan
untuk tumpah.
“Mang
gak ada alternatif lain, nda?”. Sahut kakak pula dengan nada tak rela, karena
memang fisik papa yang begitu lemahnya. Kenapa tidak, setelah kecelakaan itu,
kaki papa yang luka itupun infeksi, belum lagi papa merasakan nyeri dibagian
perut.
“Gak salah, kan. Aku nonjok penabraknya! Gak
salah juga kan aku hajar dia sampe giginya copot!”, sahutku pula dalam
geram yang tertahan,”Kalau aku punya
kesempatan dan izin dari papa dalam 2 huruf saja, maka aku akan lampiaskan
kemarahanku padanya, tapi...! Ah! Aq tidak bisa apa-apa, aku sayang papa!
”. Tambahku lagi dengan nafas sesal.
”. Tambahku lagi dengan nafas sesal.
“Bunda,
ke bank. Anterin bunda, kak”. Pinta bunda lagi tanpa menatapku atau pun
kakak”Kamu jagain papa, yah!”. Sambung bunda lagi, Tanpa sempat ku memberikan
anggukan, bunda berlalu. Beralihku ke dipan megah sebuah rumah sakit ternama
dikota ku itu, ku tatap lama raut yang menua didepanku.
“Kenapa?”
ucapnya pendek dengan suara tertahan.
Aku
menggelengkan kepala, takut berujar yang membuat sedihnya.
“Udah
makan?”.
Aku
mengangguk.
“Gak
latihan?”
Aku
menggeleng
“Kenapa?”
“Chen
sayang papa!”. Jawaban singkat yang membuat mata ku berkaca dan kemudian
beningnya tumpah.
“Papa
ingin kamu punya banyak medali”. Ucap papa lagi seraya mengembangkan tangan
memaksaku untuk bersemayam dipelukannya. Aku kembali tak bersuara.”Papa gak
ingin punyaa anak cengeng, papa ingin kamu jadi jagoan, jagoan yang membuat
papa dan bunda senang”. Tambah papa lagi dengan suara terbata-bata. “Papa sakit
gak lama, kok. Bentar lagi juga sembuh. Jadi latihan aja, ya sayang!”. Bujuk
papa lagi, “Biar bisa ikut kejuaraan besok, sekarangkan seleksinya”. Tambah
papa lagi.
Begitulah
papaku, keberhasilan dari hobi yang kujalani didukung penuh olehnya. Meski
terkadang dukungan papa mendapat protes dari bunda. Papa tetap membela.
“Papa
ingin kamu hadiahkan emas untuk papa”. Sambung papa lagi. Dengan kepala
menyandang beban ribuan kilo, ku upayakan mengangguk.
“Coba
telpon sabbam Herman!”. Tegas papa selepas anggukanku.
“Tapi,
pa. Chen pengen liat papa operasi!”. Ucapku dengan tangis mulai tumpah.
“Gak
ada untungnya, nak. Mending qm ikut aja. Pergi dan kembali dengan emas untuk
papa. Kalau papa bangun, liatkan sama papa. Biar papa bangga dan lebih bangga
lagi punya jagoan seperti anak papa ini!”. Semangat papa. Seraya menyeka
airmataku.
Dengan
gemetar yang masih mendera, ku tunaikan permintaan papa. Ku hubungi sabbam Herman
untuk mengikuti seleksi kejuaraan itu. Dan sabbam pun memberikan posisi terbaik
untukku. Tanpa seleksi aku di izinku untuk turun di kelas bantam. Esok harinya.
Papa
tersenyum sumringah melihatku.
“Papa
yakin, anak papa pasti bisa! Siapa dulu dong, jagoan papa”. Sahut papa lagi
dengan nada yang berbeda dari sebelumnya.
“Chen
sayang papa!”.
“Saat
bertanding,, konsentrasi dan pelajari gerak-gerik lawan”. Ucap papa lagi, aku
menggangguk.
Apakah
mungkin aku bisa mengikuti perlombaan itu, sementara papa dirumah sakit? Apakah
aku bisa konsentrasi? Apa aku bisa hadiahkan emas untuk papa? Huff…
2
Pagi
ini, papa operasi dan aku beranjak kesebuah daerah bersama kontingen TC dan
pelatihku. Berurai air mata ketika kuutarakan pada papa dan bunda, aku pergi.
Bunda tak berucap apa-apa. Hanya saja papa dengan senyum seadanya memamerkan
semangat baru untukku.
“Kamu
pasti bisa, papa yakin. Ingat nak, sesuatu hal yang kita bisa, yang memberikan
kontribusi bagi orang lain, itulah hal
yang paling membuat kita berharga, pergilah, kamu pasti bisa, karena yang kamu
bisa adalah yang membuat papa, bunda dan kakak bangga!”. Nasehat papa dengan nada
terbata.
“Tapi,
kalau papa selesai operasi kasi tau chen ya, pa!”. pintaku disela air mata yang
tak kuasa henti.
“Iya,
nak. Ketika kamu pulang dengan medali, papa telah sembuh. Pulanglah dengan
medali yang dikalungkan dilehermu, ya!”. Ucap papa lagi, akupun memeluknya dan
kembali tangisku meluap.
“Jangan
pergi dengan tangis, gak baik! Diamlah”. Kata papa lagi,
Aku
pun menekan tangis yang merombak keluar, meski sedu sedannya masih terasa. Papa
tak mau melapaskan pelukannya, jika airmata masih mengalir dipipiku.
“Diam
dulu!”. Kata papa, ketika ku ingin pergi, ku coba dan coba menahan tangis,
hingga tertekan rasa hatiku ketika air mata benar-benar tak tampak lagi.
“Sekarang
pergilah, papa yakin kamu bisa, jangan lupa baca bismillah, ya nak!”. Seru papa
dengan tenaga seadanya. Aku mengangguk dan berlalu diiringi Robi.
Diluar
ruangan itu, ku tumpahkan sisa airmata yang ada. Ku rapatkan raungku dengan
memukuli dinding rumah sakit itu. Aku
menangis tanpa jeda, aku meluah hingga dadaku terasa kosong.
“Jangan
nangis! Kabulkan permintaan papa, Obi yakin kamu bisa!”. Ucap Robi dengan
semangatnya pula meski ku lihat matanya berkaca merah.
Aku
masih tak bersuara, mataku mulai sembab, dan fikiranku mulai tertuju pada papa
dan ucapanya. Ada sesuatu yang aneh ku lihat, namun aku tak berani mengambil
kesimpulan. Yang ku tahu, aku sayang papa, dan akan ku lakukan apapun yang
membuat papa bangga.
3
Hari ini, Rabu
08.30 wib. Aku akan turun. Hanya ada satu tujuanku, emas! Ya medali emas yang
akan dikalungkan dileherku, dan ku bawa kehadapan papa, hingga papa berutara, Kamu jagoan papa, papa bangga!. Itu
kata-kata yang ku inginkan.
Menit
berlalu mengarungi detik hingga akhirnya masa untukku naik ring pun tiba. Wasit
yang ku sendiri telah kenal sebelumnya, menatap lama wajahku dengan mata
sembabku pula.
“Aman?”.
Tanyanya singkat dan padat.
Aku
tidak menjawab ia atau tidak, tapi ku acungkan jemari dengan telunjuk dan
jempol bertaut. Ia mengangguk membalas serupa aku pula.
Permainan
pun dimulai, ia berucap Kalyo dengan
aba-aba yang semestinya. Ronde pertama pun dimulai, lawanku berasal dari kota
yang kutakuti pula, namun karena papa, aku beranikan menargetkan emas untuk
dibawa pulang. Dahulu, bagiku mengiikuti sebuah kejuaraan, menang ataupun kalah
tak masalah, asalkan emosiku terlampiaskan. Tapi kini, aku targetkan aku harus
bisa meraih emas, karena aku tak mau raut sedih akan dipajang papa ketika aku
pulang tak membawa apa-apa.
Saking
semangatnya aku, ronde pertama ku raih kemenangan karena ku bisa melumpuhkan
lawanku. Ronde kedua dimulai, pikiranku mulai tak tenang, wajah papa semakin
menghantui, ku dekati Robi dan ku minta untuk menghubungi kakak. Robi hanya
mengisyaratkan dengan jempolnya pula, seolah-olah menandakan papa baik-baik
saja. Dan operasi berjalan lancar. Aku percaya dan kembali ku lanjutkan
permainanku.
Teknik
bantingan yang diajarkan papa membuat lawanku benar-benar KO. Dan ku pun
kembali meraih kemenangan. Anehnya pelatih dan juga wasit dengan lekasnya
mengalungkan medali dileherku, padahal
masih ada satu ronde lagi, dan itu belum ku lalui.
“Ronde
3?”. Tanyaku pada sabbam Yoki.
“Dua
ronde kamu menang, ronde tiga kamu sudah pasti menang!”. Tegas sabbam Yoki
pula.
“Saya
gak suka KKN!”. Tegasku mulai marah.”Saya gak mau dikasihani!”. Tambahku lagi.
Aku mulai geram tapi airmata juga mulai menghujan dengan tiba-tibanya.
“Siapa
juga yang mau ngasihani kamu. Kamu gak lanjut karena memang gak ada lawan, jadi
kamu menang bye!”. Celetuk Robi lagi, membuat aku benar-bener bingung.
Dilihatkannya jadwalku, baru kemudian aku mengangguk.
“Sekarang
kita pulang, karena papamu menunggu!”. Balas Robi pula.
“Gimana
aku bisa pulang”. Sungutku pula dengan paras yang mulai bingung.
“Aku
bawa motor”. Sambung lekas Robi,”Ipank, Ronald, Didi juga, kita pake motor
aja”. Tambahnya pula.
“Hujan”.
Balas sabbam Yoki. Semua bertatapan, mataku mulai berkaca. Tak sengaja ku alihkan mata menatap mereka
satu persatu.
“Kalau
aku, ok2 aj!”. Celetuk Ronald. Semua mengangguk, “Kamu?”. Tanyanya lagi ke aku.
Aku
mengangguk. Tanpa kata pun semua berlalu.
Hujan
makin deras, hingga jalan pun semu terlihat. Aku tak berucap apa-apa, yang ku
inginkan semuanya semangat membawaku dan medali pesanan papa pulang.
“Chen!”.
Panggil Robi, yang kebetulan aku boncengan dengannya, ia menatapku dibalik
spion. Aku menatapnya pula,”Aman?”. Sahutnya lagi, aku mengangguk. Ia tetap
melaju.
Di
perjalanan, ban motor Didi kempes, kami
berhenti, Didi yang terbiasa membawa alat-alat bengkel mininya memperbaiki,
agak lama juga, setelah itu kami berlalu.
Perasaanku
campur aduk, ada Tanya ada haru, ada sesuatu yang membuat aku bingung dan hati
terasa tersedak.
“Gimana
perasaanmu?”. Tanya Robi kaku, seolah dampak hujan begitu lekat di
kata-katanya.
Aku
menggeleng.
“Papamu
pasti senang!”.
“Aku
hanya ingin papa sembuh!”. Lirihku. Robi tak membalas, aku kembali diam.
Detik
melaju dengan kencangnya, sekencang motor yang dilajukan Robi. Menit pun memaksa waktu menghampiri jam,
hingga genap 3 jam barulah ku tiba di tugu ikan, lambang kotaku. Hujan telah
berhenti, agak dingin kurasa dijengatku, badan ku yang basah kuyup mungkin akan
kering dibadan karena lambaian angin dijalan. Aku gak apa-apa capek asalkan
ketika pulang, ada senyum sumringah papa dengan raut bangga melihatku. Aku juga
gak apa-apa sakit asalkan papa sembuh, aku sayang papa.
“Kok
belok, Bi!”. Sanggahku,”Aku pengen ke tempat papa! “. Sambungku lagi.
“Kabarnya
papa uda ok, kita pulang aja, papa mungkin rawat jalan”. Jelas Robi pula tanpa
melirikku melalui spionnya.
“Masa?”.
Tanyaku bingung.”Brenti!”. tegasku lagi. Robi diam.”Kalau gak, aku lompat!”.
Seruku. Robi menghentikan laju motornya. Ia diam. Tak seperti biasanya.
“Kenapa
brenti?”. Seru Ronald Pula. Robi hanya menunduk.
“Kenapa
belok?”, sahutku lagi.
“Papa
uda pulang”. Balas Ronald datar dan tak menatapku.
“Ibu
gak nelpon aku”.
“Hp
mu low”.
“Batraiku
penuh!”
“Mana?”
Aku
berusaha mencari dimana hpku, ketika ku lihat.
“Mati”.
Ucapku lagi, “Pinjam hp mu, Bi”.
Robi
yang ku panggil tak banyak bicara dan langsung menyerahkannya padaku. Ku
hubungi ibu, kakak dan semua yang ada dirumah. Tak ada yang angkat, nomor ibu
pun gak aktif.
“Oby”.
Panggilku dengan mata berkaca.
“Yuk”.
Tukas Robi lagi, aku mulai naik motornya.
“Perasaanku
gak enak”. Balasku lagi, Robi diam.
Tuhan, berikan kesembuhan untuk papa,
izinkan waktu-waktu indah kami miliki
bersama. Berikan waktu untuk papa melihat gemilangku. Lindungi dan sembuhkanlah
papa ya Allah…
Lama
juga mengukur jalan ke rumah. Jantungku semakin tak tenang, degupannya hampir
melebihi batas normal. Yang ada dibenakku hanya papa, papa dan papa. Ku genggam erat medali yang bergelantung
dileherku. Semakin kencang laju motor semakin kencang pula hati berdoa untuk
papa. Beriringan itu pula, ambulance melewati kami dengan kencangnya.
“Papa!”.
Teriakku tertahan. Ku alihkan muka kearah Robi, Robi diam.
Laju
motor semakin cepat, ambulance itu pun juga melaju dengan lekasnya, hingga
hilang dari pandangan mata. Perasaanku tetap dengan semula, deg-degan, cemas
dan lain sebagainya.
Memasuki
gank ke rumah, tak ada leganya perasaanku.
“Kok
rame? Papaku?”. Seruku, belum berhenti utuh motor Robi, aku udah lompat.”Papa,
Bi”. Tukasku, Robi diam tanpa kata.
Aku
berlari menuju pagar rumah, kakak menyambutku, memelukku dengan mata yang mulai
sembab.
“Papa,
kak?”. Sahutku pula, kakak menggeleng, aku meronta dan berlari dengan secepat
lajunya kilat memancar. Di depan pintu bunda menyambut dengan tangan
mengembang, berupaya untukku bersemayam dipelukkannya. Bunda mendekapku erat
dengan sisa sedu sedannya.
“Chen
menang, bunda. Mana papa?”. Sahutku pula, bunda tak sanggup bersuara. Aku berupaya
melepaskan pelukannya. Aku berlari menuju ruang tamu yang telah disulap kosong.
Tak ada kursi, tak ada meja bundar lagi, hanya ada papa yang terbujur kaku
tiada daya, papa yang tak bisa memanggilku dengan kata jagoan, papa yang hanya
diam dan tak mengucapkan selamat atas apa yang ku raih, ya, hanya ada papa yang
tertidur dalam kurun yang lama, di hadapku.
Tersungkurku
jatuh tak berdaya, tangisku mulai buncah, airmataku tak bisa ku bendung lagi.
“Bangun,
pa. Chen menang!”. Ucapku dengan nada tertahan dan memegang tangan papa yang
melipat di dadanya. Papa masih hening dan takkan menjawab meski hanya sebuah
senyuman.
“Lihat
Chen, pa. bangun papa!”. Ucapku mulai teriak,”Papa….!”. sekuat tenaga ku
panggil papa yang masih diam. Kakak mendekat dan mendekapku.
“Bilang
sama papa, kak! Chen menang!”. Sahutku lagi, kakak semakin mendekapku
”Istighfar,
dek”. Balas kakak lagi.
“Chen
ingin papa liat, sebentar aja, kak”. Ucapku disela raung. Kakak tak sanggup
berutara, hingga lelah dan sesak menghentikan laju airmataku, dalam waktu yang
tak ku tau kapan ku akan terbangun,
hingga ku rasakan kosong didada dan sel syarafku menegang. Hingga terpaku
ku dalam keinginan yang ku takkan pernah bisa menggapainya, dan terhenyakku
dalam raung yang entah kapan berhentinya. Bangun ataupun tidak ku dari semayam
yang menuai luka, hati dan hari-hariku akan terus diikuti kehilangan,
kehilangan akan papa, kehilangan pencetus semangatku, kehilangan bumerangku,
kehilangan motivasi terhebatku.
Setelah
ku terjaga, aku hanya bisa berteriak dan berkata pada selembar kertas, yang
entah kapan memberikan jawabannya, tentang apa yang papa katakan bila melihat
aku dengan prestasiku, tentang apa yang akan papa katakan jikalau melihatku
yang mulai lelah dengan apa yang kucari. Yang ada sekarang dan masa yang tak ku
tau dalam setiap syair dan diaryku hanyalah aku sayang papa ada disetiap denyut
nadiku.
Medali
pertama yang kudapatkanpun ku hanyutkan disela deburan ombak, seraya terisak ku
teriakkan dengan parau yang mungkin terbata, aku hanya inginkan ini untuk papa,
saat papa pergi, medali itupun juga tak ada maknanya bagiku,, hanya akan
menyisakan luka yang entah sampai kapan… :’(
Papaku, inspirasiku... :'(
ReplyDeletewaah...yeyen, jd terharu saya baca nya, mdh2an ye2n tetap tegar dan slalu doakan ayah dan bunda nya yah.. :)
ReplyDeleteingat, jgn takut orang baek n menyayangimu slalu ada di sampingmu...amiin. :)