Pa, saat ini aku terpuruk. Aku merasa bersalah sekali, berdosa. Merasa bukanlah apa-apa, atau siapa-siapa. Aku remuk pa. Dan entahlah, mengapa di saat seperti itu aku akan selalu ingat papa. Aku rindu. Selalu saja, selalu begitu. Selalu jika aku ingat papa, aku tak kuasa untuk tidak menangis Pa. Sampai saat ini aku belum bisa memberi sesuatu untuk papa, aku belum bisa membuat papa bangga, aku belum bisa menjadi sesuatu (meski papa tak pernah minta sesuatu dariku).
Pa, waktu
semakin berjalan. Entah sudah berapa umur papa. Ah papa semakin menua,
tapi papa tak pernah mau berhenti menjadi papa. Menjadi papa adalah
karunia terbesar yang diberikan Allah, mungkin itu pikiranmu pa. Pa,
Kami kini semua beranjak dewasa. Dan jagoanmu yang kau banggakan dulu
telah menyelesaikan strata dua. Do’akan yen ya pa, do’akan agar aku bisa
membawa ibu ke tanah suci-NYA.
Pa, aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin kau tersenyum di hari wisudaku, menatap bangga anakmu memakai toga kebesaran. Dan papa menciumku, menggumamkan sesuatu, menepuk pundakku, bercerita pada semua temanmu tentang aku, ya aku pa. Anakmu yang membuatmu tersenyum lebar. Tapi, aku masih tertidur pa. Aku belum terjaga
Pa, aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa aku menangis menuliskan ini. Apakah karena aku belum bisa memberi yang terbaik buat papa. Pa, aku cinta papa, aku cinta papa karena Allah. Tahukah papa, itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisa yang ia ucapkan pada ummi dan abinya. Ah, papa tak akan tahu siapa delisa itu. Dia anak-anak yang masih berusia 6 tahun pa. Ia hanyalah tokoh rekaan dalam sebuah novel . Tapi mengapa ia terasa begitu nyata bagiku, ia terasa hidup, ia seolah anakku, seolah adikku, dan seolah diriku sendiri. Saat itu pa, aku tak kuasa untuk tak menangis saat membacanya. Aku ingat papa, betapa dulu aku tak terpikirkan mengucapkan kalimat seindah itu untuk papa. Saat aku seusia Delisa.
Pa, bagaimana kabar papa sekarang, di saat aku jauh dari papa aku justru selalu ingat papa. Mungkin ini semua wajar, tapi tidak bagiku, ah akan sangat sulit menjelaskannya pa, apalagi hanya bercerita di hadapan nisan biru yang membisu, aku rindu pa. Rindu semangat dan celoteh papa. Setiap malam aku memohon pada pencipta untuk papa datang dalam alam maya, jika papa tak mau memelukku dengan rindu, cukup sampaikan saja senyuman pa, walau akhirnya airmata itu memenuhi sudut mata
Pa, aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin kau tersenyum di hari wisudaku, menatap bangga anakmu memakai toga kebesaran. Dan papa menciumku, menggumamkan sesuatu, menepuk pundakku, bercerita pada semua temanmu tentang aku, ya aku pa. Anakmu yang membuatmu tersenyum lebar. Tapi, aku masih tertidur pa. Aku belum terjaga
Pa, aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa aku menangis menuliskan ini. Apakah karena aku belum bisa memberi yang terbaik buat papa. Pa, aku cinta papa, aku cinta papa karena Allah. Tahukah papa, itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisa yang ia ucapkan pada ummi dan abinya. Ah, papa tak akan tahu siapa delisa itu. Dia anak-anak yang masih berusia 6 tahun pa. Ia hanyalah tokoh rekaan dalam sebuah novel . Tapi mengapa ia terasa begitu nyata bagiku, ia terasa hidup, ia seolah anakku, seolah adikku, dan seolah diriku sendiri. Saat itu pa, aku tak kuasa untuk tak menangis saat membacanya. Aku ingat papa, betapa dulu aku tak terpikirkan mengucapkan kalimat seindah itu untuk papa. Saat aku seusia Delisa.
Pa, bagaimana kabar papa sekarang, di saat aku jauh dari papa aku justru selalu ingat papa. Mungkin ini semua wajar, tapi tidak bagiku, ah akan sangat sulit menjelaskannya pa, apalagi hanya bercerita di hadapan nisan biru yang membisu, aku rindu pa. Rindu semangat dan celoteh papa. Setiap malam aku memohon pada pencipta untuk papa datang dalam alam maya, jika papa tak mau memelukku dengan rindu, cukup sampaikan saja senyuman pa, walau akhirnya airmata itu memenuhi sudut mata
No comments:
Post a Comment